Friday, February 19, 2010

syarat-syarat hakim dalam islam

A. Syarat-syarat Kelayakan Hakim Dalam Hukum Ketatanegaraan Islam

Islam menetapkan cara yang menjamin dan mengukuhkan tegaknya keadilan dalam aspek kehakiman, antaranya menetapkan pemisahan kekuasaan hakim dari dipengaruhi oleh jabatan-jabatan yang lain . Syarat hakim, saksi, keterangan dan adab mahkamah dan hakim mestilah dengan cara yang jelas dan wajib[1]. Tidak boleh diangkat menjadi hakim, kecuali orang-orang yang memiliki syarat-syarat menjadi hakim. Jika seseorang mempunyai syarat-syarat untuk menjadi hakim, ia berhak diangkat menjadi hakim, dan keputusannya diterapkan.[2] Dan pengangkatan penguasa pemerintahan umum atau wakilnya, terhadap orang yang telah memenuhi syarat keahlian dan kepatutan, untuk jabatan hakim ini tidak menghalangi hakim untuk bolehnya memeriksa persengketaan di antara pihak-pihak yang di antara mereka tedapat pihak penguasa itu sendiri, dan mengadili serta menjatuhkan putusan atas mereka sepanjang tuntutan keadilan dan bukti-bukti.[3]

Ada tujuh syarat untuk bisa diangkat menjadi hakim;

Syarat pertama, laki-laki. Syarat ini menghimpunkan dua sifat sekaligus: pertama, baligh. Kedua, tidak wanita.[4]

Syarat ini menjadi syarat sah menurut Mazhab Maliki, Syafie, dan Hanbali, sekiranya dilantik perempuan menjadi hakim maka pelantikan itu tidak sah dan hukumanya tidak diluluskan karena jawatan hakim termasuk dalam Wilayah Am yang tidak layak diberi kepada perempuan karena sabda Rasulullah:

لن يفلح قوم ولوا أ مرهم ٳمرأة

Artinya: “Tiada berjaya kaum yang melantik perempuan menjadi wali urusan mereka”.

Dan orang-orang perempuan mempunyai fitrah (sifat semulajadi) yang tidak melayakkan mereka memegang jawatan Wilayah Am dan tidak dapat menjamin melaksanakan tugas dengan sempurna dan sopan menurut Islam.

Mazhab Hanafi pula berpendapat haram melantik wanita sebagai hakim tetapi hukumannya diluluskan. Dan terdapat juga dikalangan Mazhab ini mereka yang mengharuskan perempuan menjadi hakim dalam perkara yang tidak melibatkan jinayah dan hudud.[5]

Syarat kedua, mempunyai akal untuk mengetahui perintah, ia harus mempunyai pengetahuan tentang hal-hal dzaruri (perintah) untuk diketahui, hingga ia mampu membedakan segala hal sesuatu dengan benar, cerdas, dan jauh dari sifat lupa. Dengan kecerdasannya, ia mampu menjelaskan apa yang tidak jelas, dan memutuskan urusan-urusan yang pelik.

Syarat ketiga, merdeka, (tidak budak). Budak itu kekuasaan atas dirinya sendiri tidak sempurna, oleh karena itu ia tidak bisa berkuasa atas yang orang lain. Selain itu, kesaksian budak dalam kasus–kasus hukum tidak diterima, maka sangat logis kalau status budak juga menghalangi penerapan hukum olehnya dan pengangkatan dirinya sebagai hakim. Jika budak telah telah bebas, ia diperbolehlan untuk menjabat sebagai hakim, kendati perwalian dirinya berada ditangan pemiliknya, karena nasab tiddak termasuk kriteria dalam kekuasaan hukum.

Syarat keempat, Islam, karena Islam menjadi syarat diterimanya kesaksian, dan karena firman Allah SWT:


Artinya: “ Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.

Orang kafir tidak boleh diangkat menjadi hakim untuk kaum muslimin, bahkan untuk orang-orang kafir

Abu Hanifah berkata: “Orang kafir boleh diangkat menjadi hakim untuk orang-orang kafir”

Inilah kendati pengangkatan orang kafir tersebut terjadi dalam tradisi penguasa, namun pengangkatannya adalah pengangkatan menjadi pejabat, dan bukan pengangkatan menjadi hakim. Imam boleh tidak menerima keputusan hakim tersebut. Jika orang-orang menolak membawa perkaranya kepada hakim kafir, mereka tidak boleh dipaksa membawa perkaranya kepadanya, karena hukum Islam lebih layak diterapkan terhadap mereka.

Syarat kelima, adil. Syarat adil ini berlaku dalam semua jabatan. Adil ialah berkata benar, jujur, bersih dari hal-hal yang diharamkan, menjauhi dosa-dosa, jauh dari sifat ragu-ragu, terkontrol ketika senang dan marah, serta menggunakan sifat muruah (ksatria) dalam agamanya dan dunianya. Jika seseorangn memiliki syarat diatas, ia orang adil, kesaksiannya diterima dan kekuasaanya sah, jika syaratnya tidak lengkap, kesaksian tidak diterima dan kekuasaanya tidak sah. Untuk itu, ucapannya tidak perlu didengar, dan hukumnya tidak perlu diterapkan.

Syarat keenam, sehat pendengaran dan penglihatan, agar dengan pendengaran dan penglihatan yang sehat, ia dapat membedakan antara pendakwa dengan terdakwa, membedakan pihak yang mengaku dengan pihak yang tidak mengaku, membedakan kebenaran dengan kebatilan, dan mengenali pihak yang benar dan pihak yang salah.

Jika ia buta, kekuasaanya batal, namun Imam Malik membolehkannya sebagaimana ia mengesahkan kesaksiannya. Jika ia tuli, maka ada perbedaan pendapat di dalamnya seperti perbedaan pendapat tentang tuli dalam jabatan Imam (khalifah).

Sehat organ tubuh tidak termasuk syarat dalam jabatan hakim, kendati sehat organ tubuh menjadi syarat dalam jabatan Imam (khalifah).



[1] Abdul Hadi Awang, Islam Adil Untuk Semua, (Selangor: PTS Islamika SDN BHD, 2009) h.58

[2] Imam Mawardi,Al-Ahkam As-sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah, 2000) h.122

[3] Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam,(Surabaya: PT Bina Ilmu) h.60

[4] Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam Sulthaniyyah Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam,(Jakarta: Darul Falah, 2000) h.

[5] Abdul Hadi Awang, Sistem Pemerintahan Negara Islam, (Terengganu: Percetakan Yayasan Islam Terengganu, 2003) h.171

0 comments:

Post a Comment